09 Ogos, 2010

Persiapan ramadan (4): Perkara Yang membatalkan Puasa




Berikut dijelaskan perkara-perkara yang membatalkan puasa. Iaitu :

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok127), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)128. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

 Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya kerana Allah telah memberi dia makan dan minum.”[ imam al-bukhari dan Muslim]


Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa kerana keliru, lupa, atau dipaksa.”[ Ibn Majah]

Yang juga termasuk makan dan minum adalah suntikan makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya kerana injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.131

Siapa saja yang batal puasanya kerana makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban qadha puasanya, tanpa ada kaffarah. Inilah pendapat majority ulama. [Sahih Fiqh Sunnah]

2. Muntah dengan sengaja.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada ganti baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya menggantikannya’.”[ Abu Daud]

3. Haidh dan nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haid atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[ Majmu’ Al Fatawa]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[ Bukhari]

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus qadha’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah,

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat."[ Muslim]

Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqadha puasanya ketika ia suci.

4. Keluar mani dengan sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqadha’, tanpa menunaikan kaffarah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah,Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[ al-Bukhari]

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.

Jika seseorang mencium isteri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang isteri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.

5. Berniat membatalkan puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.

 Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqadha puasanya di hari lainnya.

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kaffarah. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti
orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi isterinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qadha dan tidak ada kaffarah.[Syarhul Mumthi]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pemuda menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pemuda tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pemuda tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi isteri, padahal aku sedang puasa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pemuda tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pemuda tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin

Pemuda tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pemuda tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pemuda tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di hujung timur hingga hujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[al-bukhari]

Menurut majority  ulama, jima’ bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kaffarah. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal.
tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kaffarah.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kaffarah, yang menanggung kaffarah adalah si pemuda.

Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kaffarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kaffarah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kaffarah adalah hak harta. Oleh kerana itu, kaffarah dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.

Kaffarah yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud149 makanan.

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kaffarah di atas, kaffarah tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk hutang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Rujukan :

Panduan Ramadhan, 
Muhammad Abduh Tuasikal

0 comments:

Catat Ulasan

Related Posts with Thumbnails
 
Share